TENTANG HIDUP,
PERSAHABATAN DAN BERJUANG DI PERANTAUAN
Judul: IZMI & LILA
Penulis: Riawani Elyta
Penerbit: Najah
Cetakan: Pertama, September 2011
Halaman: 289 hlm
ISBN: 978-602-978-866-2
Peresensi: Fachrina Fiddareini
Penikmat Literasi
Siswi MTsN Tulungagung
Novel ini menceritakan lika-liku perjuangan hidup dari Izmi
dan Lila, dua mahasiswi asal Indonesia yang bersekolah di Singapura. Izmi,
seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana serta Lila, anak tunggal
dari sebuah keluarga kaya.
Keduanya berkesempatan mencicipi pendidikan di negeri
Merlion berkat beasiswa dari dua yayasan (foundation) yang berbeda.
Saat tahun pertama studi mereka, kurs dolar tiba-tiba saja
melonjak naik. Jauh meninggalkan rupiah yang masih tertatih. (hal 18) Hal ini
sudah tentu menyebabkan Lila kelabakan. Ditambah lagi dengan kabar dari Mama yang
menceritakan bahwa usaha percetakan Papa bangkrut karena ditipu oleh tangan
kanannya sendiri. Disusul oleh sisa yang ada jauh dari cukup untuk biaya hidup Lila
serta krisis moneter membuat UOB account-nya semakin sekarat. (hal. 21)
Sementara Izmi, selain dari beasiswa, dia juga disokong oleh
uang hasil penjualan tanah warisan Kakeknya. Namun, kurs dolar membuat segala
perhitungannya meleset. (hal. 95) Untungnya Izmi masih bisa membiayai
hidup dari upah membantu Nyonya Jen (pemilik apartemen Izmi) menjalankan bisnis
sarapan paginya.
Konflik semakin berkembang ketika Nathan, putra bungsu
Nyonya Jen, masuk ke dalam hidup Izmi. Nathan yang kini menjadi duda karena
ditinggalkan istrinya berselingkuh mulai dekat dengan Izmi. Akan tetapi, Nyonya
Jen malah salah paham dan mengusir Izmi agar meninggalkan apartemennya. (hal.
144)
Di sinilah pertemuan mereka, Izmi menemukan Lila yang pingsan
di tengah jalan dan membawanya ke rumah sakit. Bahkan Izmi juga mengontak Miss Hanna,
orang dari foundation Lila. Sejak saat itu,
mereka mulai bersahabat dan tinggal dalam satu flat bersama.
Lila yang mengalami kesulitan keuangan memutuskan untuk
melamar pekerjaan di Hong Leong, walaupun Lila tahu yang ia lakukan itu adalah
ilegal. Tapi ia tetap menjajal masa pelatihan sampai waktu yang ditentukan.
Sayangnya, di akhir pelatihan, Lila dihadapkan pada pilihan sulit, yakni
memilih antara karir atau pendidikannya. Untunglah Edward memberinya masukan yang
sangat berarti; "Siapa pun setuju kalau pendidikan memang hal yang terpenting
dalam hidup. Tapi, pendidikan menjadi tak berarti kalau kau tak punya kesempatan
untuk mengaplikasikannya ..." (hal. 203)
Banyak kenangan yang mereka lalui. Usaha penjualan kue buatan
Izmi yang sempat membuat Lila iri, kebimbangan Lila yang harus memilih antara
pekerjaan di Hong Leong atau pendidikannya, Nathan yang terus mencari
kesempatan agar bisa bersama Izmi untuk menyampaikan pesan Nyonya Jen. Serta Edward
yang tiba-tiba saja menyatakan cintanya pada Lila.
Hingga tibalah waktunya, Lila mendapat kabar bahwa papanya
sakit parah. Mau tak mau Lila pulang dan akhirnya sang papa sudah dipanggil
oleh-Nya. Keadaan ini cukup mengejutkan Lila. Mamanya juga sudah memberitahu
rahasia kejatuhan bisnis papanya dan meminta Lila untuk melanjutkan usaha lain
yang dimiliki papa Lila.
Kelebihan novel ini, diantaranya adalah, bahasa yang
digunakan cukup lugas, menarik namun tetap dikemas secara santai. Semangat
menjalani hidup serta kemandirian yang dicontohkan Izmi dan Lila benar-benar
menginspirasi. Selain itu, kekuatan persahabatan ditambah sedikit bumbu roman
semakin mempermanis kisah dalam novel karya Riawani Elyta yang satu ini. Pembukaan
pada setiap bab juga cukup memikat walaupun pada beberapa bagian sudah bisa tertebak
akhirnya.
Kekurangannya, dalam beberapa bagian pendeskripsian masih agak
bertele-tele. Desain cover juga kurang menarik. Ada beberapa bagian dalam narasi
novel ini yang masih menggunakan bahasa tak baku, namun tetap tidak berpengaruh
banyak dalam hal kenyamanan saat membaca buku ini.
Terlepas dari itu kekurangannya, novel ini sungguh patut
dibaca oleh semua kalangan untuk menyadarkan kita betapa pentingnya persahabatan
dan kerja keras untuk mencapai cita-cita serta menghadapi ganasnya kehidupan.
Tulungagung, 31 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar